September 8, 2023 Yang Dilakukan Orang-orang Kafir Adalah Titik-titik Berhala Yang Dilakukan Orang-orang Kafir Adalah Titik-titik Berhala – Ketika Munas NU tahun lalu mengeluarkan resolusi yang melarang penggunaan istilah “kufur” terhadap warga negara non-Muslim, sejumlah kelompok langsung menyerang dan melecehkan NU. Mereka menuding ormas Islam terbesar itu mengabaikan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits yang jelas-jelas menggunakan istilah “kufur” untuk non-Muslim. Yang Dilakukan Orang-orang Kafir Adalah Titik-titik Berhala Jelas tuduhan itu didasarkan pada kesalahpahaman atau kesalahpahaman. Keputusan Munas Nahdlatul Ulama untuk tidak menyebut non-Muslim sebagai “kafir” bukan dalam konteks keimanan atau teologi, melainkan dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jihad Akbar: Menghidupkan Nalar, Bukan Membunuh Nyawa Dalam konteks bermasyarakat dan bernegara, non-Muslim bukanlah “kafir” melainkan warga negara yang menikmati kedudukan yang sama dengan warga negara Islam di mata konstitusi. Mengapa istilah kafir bermasalah jika digunakan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia? Sebab istilah kafir sering dijadikan sarana untuk mengepung pemeluk agama lain, karena tidak sependapat dengan landasan keyakinannya. Stigmatisasi terhadap orang-orang kafir mempunyai konotasi bahwa non-Muslim adalah orang asing, orang lain yang patut diwaspadai, dan terbiasa didiskriminasi, atau bahkan dianggap “musuh” sebagai musuh. Penistaan agama semacam ini ditolak NU melalui keputusan Musyawarah Nasional Ulama tahun 2019. Jadi bukan soal keimanan, tapi soal kedudukan non-Muslim dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kafir, karena warga negara Indonesia. Di Balik Perjanjian Hudaibiyah, Kaum Quraisy Akui Eksistensi Negara Islam Dalam kerangka negara Pancasila tidak ada yang namanya kafir. Pengikutnya disebut berdasarkan agamanya: Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu. Jadi non-Muslim tidak disebut “kafir”, karena yang menjadi acuan NKRI adalah Pancasila, bukan Islam. Sikap ulama NU yang melarang pelabelan warga non-Muslim sebagai kafir, nyatanya sejalan dengan semangat Pancasila yang digagas dan dirumuskan para founding fathers kita. Simak misalnya pidato bersejarah Sukarno tentang lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945. Bung Karno berkata: “Azas Ketuhanan! Bangsa Indonesia tidak hanya mempunyai Tuhan, tetapi setiap orang Indonesia harus beriman kepada Tuhannya. Umat Kristen menyembah Tuhan. Menurutnya sesuai dengan perintah Yesus Kristus, umat Islam beribadah sesuai dengan perintah Nabi Muhammad saw, umat Buddha menjalankan ibadahnya sesuai dengan kitab yang mereka miliki, semua orang harus beriman kepada Tuhan secara budaya, yaitu tanpa egoisme agama. dan mengamalkan agama, islam dan kristen dengan cara yang beradab, apa yang dimaksud dengan cara yang “beradab”? Itu adalah rasa hormat terhadap satu sama lain.” Dari kutipan panjang Bung Karno, kita dapat menyimpulkan bahwa ketika Sukarno berkata, “Ia beriman kepada Tuhannya”, Sukarno bukan hanya mengakui keberagaman karakter agama bangsa Indonesia. Deklarator juga menekankan persamaan hak umat beragama. Seorang pemeluk agama, selain meyakini kebenaran agamanya, juga wajib mengakui hak pemeluk agama lain untuk meyakini kebenaran agamanya. Memahami Makna Kafir Tidak boleh ada pendapat agama yang mendominasi pendapat agama lain. Tidak ada kelompok agama yang berhak menilai agama lain dari sudut pandang agamanya. Bung Karno kemudian mengingatkan agar bangsa Indonesia “cermat berbudaya” dengan menghormati agama masing-masing, dan tidak terjerumus ke dalam perangkap yang disebutnya “egoisme agama”. Egoisme agama semacam ini tentu bertentangan dengan visi Bung Karno yang menyatakan negara Indonesia “semua orang adalah milik semua orang”, dan bukan hanya milik kelompok tertentu. Bukan Kristen untuk Indonesia, bukan Muslim untuk Indonesia, tapi Indonesia untuk Indonesia, semua untuk semua,” kata Bung Karno. Ini Bung Karno. Tidak boleh menstigmatisasi non-Muslim sebagai “kafir”, karena bertentangan dengan prinsip kesetaraan yang merupakan salah satu pilar konsep kewarganegaraan modern yang menjadi landasan sistem republik kita. Ini adalah gagasan politik baru yang modern, yang tidak dikenal dalam sistem politik Islam kuno yang berdasarkan kekhalifahan. Dalam politik Islam pra-modern, non-Muslim yang tidak berperang melawan umat Islam dan tinggal di wilayah tanah Islam disebut “kafir dazimi” atau “ahildiz dzimah”, yaitu orang kafir yang mendapat perlindungan dan mendapat perlindungan politik, dengan kewajiban membayar. jizya (pajak kepala). Dalam Negara Pancasila Tak Ada Orang Kafir I Kata Akhmad Sahal Jadi statusnya sebagai dhimmi membuat non-Muslim tidak bisa mempunyai persamaan hak. Memang benar mereka hidup aman, namun mereka tidak diperbolehkan menduduki jabatan politik strategis, seperti panglima perang atau kepala negara. Mereka diperbolehkan mengamalkan ajaran agamanya, namun sangat terbatas dalam hal pendirian tempat ibadah atau penyiaran ritual keagamaannya. Dan masih banyak lagi contoh lainnya. Singkatnya, status dhimmi pada dasarnya bersifat diskriminatif karena menempatkan non-Muslim sebagai warga negara kelas dua. Keadaan ini sangat berbeda dengan prinsip kewarganegaraan dalam sistem negara-bangsa. Asas kewarganegaraan berasumsi bahwa negara lahir karena adanya kontrak sosial antar warga negara yang melindungi hak dan kebebasannya. Karena setiap warga negara ikut serta secara bersama-sama dalam perjanjian-perjanjian dan kesepakatan-kesepakatan yang berkaitan dengan pendirian negara, maka ia mempunyai hak yang sama, apapun agamanya. Negara Pancasila menganut sistem modern ini. Dalam negara Pancasila, non-Muslim bukanlah orang kafir atau orang asing, melainkan saudara sebangsa dan setanah air. Apa Hukum Mengidolakan Orang Kafir Dalam Islam? Pendapat seperti ini sebenarnya bukan hal baru di kalangan umat Islam Indonesia. Dulu, kita sering menyebut non-Muslim sebagai “saudara non-Muslim”. Selain itu, peneliti senior NU KH. Ahmed Siddiq pernah mengemukakan gagasan persaudaraan tripartit (brotherhood): persaudaraan Islam (Islamic brotherhood), persaudaraan nasional (national brotherhood), dan persaudaraan manusia (Basaria brotherhood). Sudut pandang K. Ahmed Siddiq merupakan seruan kepada umat Islam untuk tidak membatasi komitmen persaudaraan terhadap sesama umat Islam, namun memperluasnya hingga mencakup masyarakat Indonesia non-Muslim, karena mereka adalah satu bangsa dan satu umat. Jadi non-Muslim adalah saudara umat Islam, begitu pula sebaliknya. Bahkan, referensi gagasan menganggap non-Muslim sebagai satu saudara semanusia dapat kita temukan dalam pepatah terkenal Ali bin Abi Thalib: “Barangsiapa yang bukan saudara seiman, maka ia adalah saudara sekemanusiaan.” Sedangkan upaya untuk menjadikan warga non-Muslim sebenarnya mengacu pada Perjanjian Madinah, yaitu perjanjian yang dilakukan Nabi dan umat Islam di Madinah saat itu dengan umat Kristen, Yahudi, dan Zoroastrian untuk melindungi kotanya dari serangan Madinah. dalam salah satu pasal Piagam Madinah: “Orang-orang Yahudi di Bani Af adalah satu bangsa dengan umat Islam. Orang-orang Yahudi memiliki agamanya dan orang-orang Muslim agamanya.” Buku Guru Kelas 10 Pai Menariknya, dalam perjanjian ini, Nabi menyebut suku-suku Yahudi yang ikut serta dalam piagam Madinah sebagai “satu bangsa dengan umat Islam”. Konsep berbangsa di sini tidak hanya umat Islam, namun juga non-Muslim yang turut serta dalam perjanjian tersebut. Dengan demikian Piagam Madinah menjadi batu loncatan yang mempersatukan umat Islam dan Yahudi Madinah dalam persaudaraan bangsa, sebagaimana Pancasila menjadi batu loncatan yang mempersatukan umat Islam dan non-Muslim dalam persaudaraan kebangsaan. Ini mengingatkanku pada H. Ahmad Siddiq, bahkan Nurcholish Majeed, menyebut Pancasila sebagai “Kalemton Sua”, artinya titik temu, titik temu antara umat Islam dan non-Muslim Indonesia yang bersatu dalam persaudaraan kebangsaan. Persaudaraan nasional antara Muslim dan non-Muslim saja tidak memberikan ruang untuk menggambarkan “kafir” bagi anggota suatu bangsa, yang tidak menganut agama yang sama. Ensiklopedi Al Quran Q Z (pro. Dr. M Quraish Shihab) (z Lib.org) Republik Indonesia tidak dirancang untuk memperlakukan non-Muslim sebagai kafir dhimmi, apalagi kafir yang suka berperang, namun sebagai warga negara yang setara. Muslim dan non-Muslim adalah pemilik sah republik ini, yang dalam bahasa Sukarno digambarkan sebagai “negara semua untuk semua”. Di republik ini tidak ada tempat bagi egoisme agama yang menjadikan agama sebagai standar untuk menilai agama lain. Tidak ada tempat untuk egoisme agama. Oleh karena itu, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebutan “kafir” bagi saudara kita non-Muslim merupakan pengingkaran terhadap nilai-nilai Pancasila dan berarti merugikan bangsa Indonesia. Ini adalah contoh widget untuk menampilkan tampilan sidebar kanan secara default. Anda dapat menambahkan widget khusus dari layar Widget di Admin. Jika widget khusus ditambahkan, widget ini akan diganti. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. Judul Buku: Orang-orang Kafir di Rumah Nabi Muhammad SAW, Penulis Ahmed Tharawat, L. Master Editor Disiapkan oleh Fatih dan layout oleh Fayyad dan Fawaz Desain sampul oleh Fakih Penerbit Publikasi Rumah Fakih Galan Carit Pedorinan no. 53 Kuningan Setiabudi, Jakarta Selatan 12940 Halaman 4 dari 32 Daftar Isi Daftar Isi …………………………………. … ……. .. ……………….. 4 Pendahuluan ………….. . ………………………………………….. 5 a. Abu Thalib : Paman…………. . ……………………………..8b. Maria Al-Kabti : Ibu ………….. …………….. 13 c. Abu Sufyan : Mertua …………………………………….. …. ….. 18 hari. Abu al-Ash : Menantu laki-laki ……………………………. .. .. 23 Profil Penulis ………. ………………. ………….. … … 30 Duel Pembuka Di Perang Badar Halaman 5 dari 32 Pembukaan Pertanyaan yang menarik untuk didiskusikan: Bolehkah seorang muslim dari sudut pandang hukum Islam hidup berdampingan dengan orang yang berbeda agama? Ataukah umat Islam dan kafir ditakdirkan menjadi musuh satu sama lain? Benarkah Islam diturunkan untuk melawan orang-orang kafir? Benarkah pada dasarnya orang kafir tidak boleh berada di lingkungan Islam? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini seringkali menggugah keingintahuan masyarakat dan membingungkan banyak kalangan, khususnya umat Islam perkotaan, ketika mereka terjebak dalam mimpi euforia tentang semangat Islam dan misinya. Beberapa waktu lalu juga sempat terjadi perdebatan sengit mengenai penyebutan orang kafir atau non-Muslim. Beberapa orang bersikeras bahwa kita tidak perlu menggunakan istilah “non-Muslim” dan cukup menggunakan istilah “kuffar.” Karena Tuhan Yang Maha Esa dalam Al-Qur’an hanya menggunakan istilah kafir saja. Apa yang seharusnya menjadi pekerjaan kebaikan dan kelembutan terhadap musuh-musuh Tuhan? Kurang lebih seperti itulah tampilannya. Halaman 6 dari 32 Orang-orang kafir, menurut mereka, hanyalah orang-orang kafir. Dan karena orang-orang kafir mengartikan bahwa mereka adalah musuh Tuhan. Dan karena mereka musuh Tuhan, berarti mereka pasti musuh Tuhan. Pemahaman semacam ini sedikit banyak muncul seiring dengan kuatnya gaung dakwah Islam di berbagai tempat, baik di sekolah, universitas, perkantoran bahkan dalam ceramah-ceramah di masjid-masjid dan dewan baptis. Jadi apakah klaim seperti itu bisa dibenarkan? Apakah sudah dipastikan bahwa semua orang kafir otomatis menjadi musuh kita dan kita harus selalu berperang bersama mereka? Tentu saja semuanya Jenis usaha yang jarang dilakukan orang, orang kafir adalah, orang yang menyembah berhala, apakah balasan yang akan diterima oleh orang orang kafir, pertolongan pertama yang dilakukan kepada orang yang keseleo adalah, orang kafir adalah arti dari, dunia adalah surganya orang kafir, apa yang dilakukan orang pacaran, yang dilakukan orang sukses, doa untuk orang kafir yang zalim, apa yang dimaksud orang kafir, gambar orang yang menyembah berhala News