March 6, 2024 Individualistik Adalah Individualistik Adalah – Artikel ini merupakan rangkuman slide Komunikasi Antarbudaya (post half) karya Inon Beydha., Ph.D, yang kemudian dilengkapi dengan buku Komunikasi Antarbudaya karya Larry A. Samovar, dkk tahun 2010 terbitan Salemba Humanika, Jakarta . Berikut ringkasannya: Budaya kolektivistik menekankan komunitas, kolaborasi, kepentingan pribadi, harmoni, tradisi, pelayanan publik, dan menjaga harga diri. Budaya individualistis menekankan hak dan kewajiban pribadi, privasi, ekspresi pendapat pribadi, kebebasan, inovasi dan ekspresi diri (Andersen dalam Samovar et al, 2010: 237). Dalam budaya individualistis, tujuan pribadi lebih diprioritaskan dibandingkan loyalitas terhadap kelompok, seperti keluarga atau majikan. Loyalitas seorang individualis terhadap suatu kelompok sangatlah kecil (Goleman dalam Samovar et al, 2010: 237). Individualistik Adalah Contoh budaya individualistis adalah budaya berpindah pekerjaan di Amerika yang menunjukkan bahwa mereka tidak loyal dan lebih berorientasi pada tujuan pribadi, misalnya keuntungan. Atau di Amerika Serikat, “orang berorientasi pada tujuan kesuksesan pribadi; mereka merasa bahwa hubungan dan keanggotaan kelompok menghalangi pencapaian tujuan tersebut (Samovar et al, 2010: 382). Lapisan Kedekatan Dalam Interaksi Di Media Sosial Sedangkan kolektivisme berarti penekanan pada a) mengutamakan pandangan, kebutuhan, dan tujuan kelompok di atas diri sendiri; b) norma dan kewajiban sosial ditentukan oleh kelompok; c) keyakinan dalam kelompok; dan d) kemauan berkolaborasi dengan anggota kelompok (Triandis dalam Samovar dkk, 2010: 239). Konteks budaya tinggi menggunakan gaya komunikasi implisit, dimana pesan yang disampaikan bersifat implisit atau tidak langsung. Negara-negara yang menganut konteks budaya ini adalah Jepang, Arab, Amerika Latin, Italia dan sejenisnya, meskipun tidak bisa digeneralisasikan. Sedangkan konteks budaya rendah menggunakan gaya komunikasi eksplisit, dimana pesan yang disampaikan bersifat eksplisit atau langsung. Negara-negara yang menganut konteks budaya ini adalah Inggris, Perancis, Amerika Utara, Skandinavia, Jerman, Swiss dan sejenisnya, meskipun hal ini tidak dapat digeneralisasikan. COVID-19 menimbulkan keterbatasan dan permasalahan dalam kehidupan kita sehari-hari dengan intensitas dan bentuk yang berbeda-beda. . Gender, etnis, identitas seksual, tingkat sosial ekonomi, profesi dan banyak faktor lainnya menjadikan kehidupan selama pandemi ini sangat sulit dan bahkan mematikan bagi sebagian orang; sementara yang lain dapat melintasinya dengan relatif mudah. Salah satu standar anjuran otoritas kesehatan agar pandemi ini cepat berlalu adalah dengan menjaga jarak dan tetap berada di rumah. Namun banyak dari kita yang tidak mematuhi anjuran ini karena berbagai alasan. Ada alasan yang relatif dapat dimengerti seperti komitmen terhadap profesi atau tidak adanya jaring pengaman pemerintah mengapa tinggal di rumah sama saja dengan memperlambat bunuh diri. Ada pula yang tetap ngotot keluar rumah sehingga membahayakan diri sendiri dan orang lain, bahkan sekadar untuk salat di masjid atau ibadah keagamaan lainnya. Di hari kedua Ramadhan, seorang warga Pulo Gadung juga diserang massa karena mengadukan masjid depan rumahnya yang masih salat tarawih kepada Gubernur DKI Jakarta. Daftar Negara Paling Individualis Di Dunia, Nkri Nomor Berapa? Tanggung jawab moral terhadap orang lain harus menjadi inti iman. Oleh karena itu, sikap seorang muslim yang mengorbankan keselamatan orang lain untuk ikut salat berjamaah di masjid atau membeli hijab di pusat perbelanjaan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan dalam Al-Qur’an. Akar kesenjangan antara ajaran Al-Quran – yang menempatkan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya pada posisi yang sangat tinggi – dengan praktik individualistis penganutnya yang membahayakan nyawa orang lain atas nama iman merupakan salah satu wujud dari ketimpangan agama. komodifikasi agama. Komersialisasi membuka ruang bagi penganutnya untuk beragama dalam paradigma individualisme liberal. Matthias Zick Varul, dosen senior sosiologi Universitas Exeter, Inggris, menjelaskan bagaimana proses komodifikasi agama terjadi dan apa dampaknya terhadap masyarakat. Dalam artikel yang membandingkan proses komodifikasi dalam tradisi Islam dan Protestan yang diterbitkan pada tahun 2008, Varul berpendapat bahwa konsumerisme telah menjadi kerangka budaya bagi tumbuhnya agama dalam masyarakat konsumen kapitalis. Konsumerisme, alih-alih menjadi sebuah konsep yang bertentangan dengan konstruksi kesalehan, justru menjadi tempat di mana kesalehan tumbuh, dipahami, dan dipraktikkan. Fungsi praktis aktivitas konsumsi serupa dengan fungsi praktis perilaku keagamaan, yaitu memberikan pembenaran moral. Salah satu dilema terbesar dalam kehidupan sehari-hari adalah pilihan. Salah satu dari banyak cara untuk memastikan bahwa pilihan yang kita ambil adalah yang terbaik di antara pilihan lainnya adalah dengan memberikan pembenaran “moral”. Agama, kata Varul, menjadi sumber utama pembenaran tersebut dengan pembenaran yang bersifat transenden. Di sisi lain, konsumerisme juga memberikan pembenaran yang materialistis. Selain agama, konsumsi juga cukup fleksibel: individu diperbolehkan untuk terus mengubah pilihan selama sumber daya keuangan tersedia. Konsumsi memberikan ruang untuk mengoreksi pilihan melalui tindakan konsumsi selanjutnya. Ekspresi Individualisme Dalam Puisi Mulut Gang Karya Kiki Sulistio Contoh paling nyata dari hal ini adalah fenomena “hijrah”. Hal ini merepresentasikan kesalehan dalam bentuk aktivitas konsumsi berbasis gaya hidup. Agama konsumsi ini menjadi sangat berbahaya karena dua hal, terutama dalam situasi seperti sekarang ini, di mana empati terhadap orang lain sangat diperlukan. Pertama, religiusitas yang konsumtif akan menghasilkan apa yang disebut Varul sebagai “iman yang dipamerkan”. ), yaitu manifestasi dangkal rasa kasihan yang muncul dari kebutuhan individu untuk mengakui keaslian pembenaran materi “moral” miliknya. Kedua, karena sifatnya yang menempatkan penampilan luar sebagai jaminan “akhlak” seseorang, maka “pertunjukan keimanan” juga memerlukan “adegan”. Di sinilah tempat ibadah seperti masjid dan ruang publik lainnya seperti pusat bersalin menjadi ruang pamer ekspresi kesalehan yang konsumatif. Lebih jauh lagi, etos individualistis yang menjadi bagian dari gaya hidup konsumeris mengubah keprihatinan antarpribadi dalam kehidupan beragama menjadi persaingan memperebutkan keaslian di antara umat beragama melalui kepemilikan harta “kesalehan”. Ungkapan keimanan bukan lagi berupa pengamalan kasih sayang terhadap sesama, melainkan terburu-buru “mengasihani” yang terlihat dari penampilan luar. Komodifikasi agama tidak hanya terbatas pada penyebaran gaya hidup “Islam” atau kecenderungan untuk segera melakukan emigrasi. Selain itu, komodifikasi agama juga membawa serta etika destruktif yang menjadikan kehidupan beragama sebagai sebuah olimpiade selestial dan bukannya sebuah forum kolektif untuk dibagikan kepada orang lain. Individualisme, Kolektivisme, Dan Negara Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tidak ada ruang tanggung jawab sosial dalam praktik konsumeris Islam di Indonesia. Melanjutkan aktivitas konsumsi dan demonstrasi kesalehan konsumen di ruang publik menjadi prioritas, karena agama adalah soal persaingan menunjukkan keimanan seseorang. Siapa yang khawatir dengan risiko penularan COVID-19 ke orang lain jika menunjukkan keimanan di tempat umum menjadi prioritas utama dalam kehidupan beragama? Bagi saya jawabannya adalah feminisme Islam. Sebagai paradigma yang dikonstruksi untuk memberikan kritik terhadap pandangan Islamofobia-Orientalis dan religio-patriarkal terhadap perempuan muslim, feminisme Islam menawarkan konsepsi hubungan antara individu dan komunitasnya yang tidak terjebak dalam kategori biner: menempatkan kebebasan individu di atas apa pun atau meromantisasi Komunitas. hidup tanpa melihat jaringan, dominasi patriarki di dalamnya. Feminis Islam terkenal Fatima Mernissi membedakan antara individualisme sebagai posisi kritis-ideologis dan individualisme yang dihasilkan dari komodifikasi kapitalis atas keberadaan manusia (Braziel, 1999; Mernissi, 1996). Individualisme dalam bentuk pertama merupakan komitmen terhadap kebebasan berpikir dan bertindak dalam kerangka kritis, sedangkan individualisme dalam bentuk kedua adalah ketundukan terhadap nilai-nilai kebebasan yang hanya dibatasi pada aspek ekonomi dan materialistik (Braziel, 1999). Beberapa cendekiawan feminis Muslim lainnya memfokuskan karyanya pada kritik terhadap konsep “individualisme”, dalam kerangka pemikiran pascakolonial. Leila Ahmed (1992) secara khusus mengkritik konsep individualisme liberal yang dikemukakan oleh aktivis feminis kulit putih sebagai pembenaran atas invasi imperialis AS ke negara-negara “Dunia Ketiga”. Sementara itu, Saba Mahmood (2014) menawarkan pemahaman yang lebih luas tentang konsep kemandirian feminis ( Kehidupan Sekularisme Melahirkan Individualis ) yang sering digambarkan sebagai penolakan individu terhadap konteks yang membatasi preferensi pribadinya dalam sebuah konsep yang dapat mencakup berbagai bentuk kemandirian tidak liberal yang diungkapkan oleh banyak perempuan kulit berwarna di seluruh dunia. Yang ditawarkan para akademisi feminis muslim ini adalah konsepsi kedirian yang tidak menafikan jaringan hubungan kolektif, namun tetap menghargai kemandirian berpikir dan bertindak setiap orang. Dalam paradigma feminis secara umum, perspektif feminis Muslim merupakan suatu bentuk “keberadaan yang terbatas” (Limited Being). Dalam konteks agama di Indonesia, karena keimanan bukanlah sebuah konsep yang bisa dipahami tanpa adanya hubungan antar manusia, maka keimanan tidak lagi bisa dipahami sebagai sebuah kompetisi untuk menambah poin demi tiket masuk surga. Iman dalam perspektif agama “individualitas yang terbatas” itu tidak dapat dilepaskan dari konteks kemanusiaan sehari-hari: hubungan manusia dengan Tuhan sangat ditentukan oleh hubungan manusia dengan manusia lainnya. Kapitalisme mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi pasar, termasuk agama. Ketika “Islam” dijual sebagai aksesoris di pusat perbelanjaan, atau sebagai properti di rumah-rumah syariah, maka ukuran ketakwaan otomatis terlihat dari seberapa besar modal yang dimiliki seorang muslim untuk mengkonsumsi barang-barang tersebut. Kesakralan agama sebenarnya terletak pada sifat egaliternya yang memberikan peluang seluas-luasnya untuk menjadi bagian dari agama. Sikap Individualis Menyalahi Kodrat Manusia Praktik Islam yang mementingkan diri sendiri yang membuat banyak orang tidak mau bersusah payah mengorbankan orang lain untuk salat di masjid di masa pandemi merupakan langkah yang mengikis kesakralan Islam, bukan sebaliknya. Pendekatan individualistis liberal yang menghilangkan keimanan seseorang dari konteks sosialnya jelas tidak bisa menjadi bagian dari paradigma keagamaan.*** Varul, Matthias Zick. “Setelah kepahlawanan: agama versus konsumerisme. Pendahuluan penyelidikan Protestan dan Islam dalam konteks budaya konsumen”. Adalah media yang murni nirlaba. Untuk menjaga independensi dan prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apa pun untuk operasional sehari-hari. Sejauh ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela dari pembaca. Pada saat yang sama, semakin banyak orang yang membaca hari demi hari. Untuk tetap dapat memberikan bacaan yang berkualitas, meningkatkan pelayanan dan memberikan akses gratis kepada pembaca, kami membutuhkan bantuan Anda Kapanlagi – Istilah individualisme sudah tidak asing lagi bagi kita. Makna individualisme pada umumnya digunakan untuk menunjukkan ciri dan sikap seseorang yang cenderung melakukan segala sesuatunya untuk dirinya sendiri atau mengutamakan kepentingannya sendiri dibandingkan orang lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak sekali ciri-ciri manusia yang mudah kita temukan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satunya adalah sifat individualisme yang menghadirkan serangkaian ciri tertentu. Meskipun individualisme dapat memberikan dampak positif, ada banyak hal yang dapat merugikan diri Anda sendiri. Keterikatan Individualisme Dalam Tatanan Kemasyarakatan Sebelum membahas dampak individualisme satu per satu, pahami terlebih dahulu pengertian individualisme seperti yang akan dijelaskan di bawah ini. Yuk cek pengertian individualisme, ciri-cirinya, pemicu dan dampaknya. Manusia dikenal sebagai makhluk sosial. Namun, ini adalah karakteristik individu Octafx adalah, iujp adalah, agoda adalah, kripto adalah, privyid adalah, psikiater adalah, trader adalah, forex adalah, halodoc adalah, adalah, koinworks adalah, trading adalah News