January 16, 2024 Mungsuhe Puntadewa Yaiku Ratu Ing Mungsuhe Puntadewa Yaiku Ratu Ing – Bharata Yuddha (Dewanagari: भारतयुद्ध; Jawa: ꦨ관ꦫꦠꦪꦨꦢ꧀ꦝ; Bali: ᬪᬵᬭᬢᬤରର.ངବବ IAST: तयुद ्ध) adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada sejarah Perang Besar antara Kalvandan. , protagonis dari epos Mahabharata. Bharat Yuddha adalah kata Sansekerta yang berarti “perang di dinasti India”. Pertempuran tersebut merupakan puncak dari kisah Mahabharata, sebuah epos terkenal India yang diadaptasi di Jawa menjadi sebuah karya seni berupa Kakawin dan Wayang. Istilah Perang India berasal dari judul Naskah Kakawin dalam bahasa Jawa Kuno yang ditulis oleh Empu Sedah pada tahun 1157 atas perintah Maharaja Jayabhaya, Raja Kerajaan Kadiri. Sebenarnya kitab Perang India ditulis pada masa Kediri untuk melambangkan keadaan perang saudara antara kerajaan Kediri dan Jengala yang keduanya merupakan keturunan Raja Erlanga. Keadaan perang saudara digambarkan seolah-olah tertulis dalam kitab Mahabharata karya Byasa, yaitu perang antara Pandawa dan Korawa yang sebenarnya merupakan keturunan penulis Byasa. Mungsuhe Puntadewa Yaiku Ratu Ing Kisah Kakawin Bharatayuda kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Jawa Baru dengan judul Serat Bratayuda oleh pujangga Yasadipura I pada masa Kasunan Surakarta. Soal (pg, Isian Singkat, Uraian) Di Yogyakarta, pada masa pemerintahan Sri Sultan Hemengkubuwa, sejarah Bharatiyadh ditulis ulang dengan judul Serat Jagajandha. Penulisan dimulai 29 Oktober 1847 hingga 30 Juli 1848. Mirip dengan Mahabharata versi India, Perang Bharata merupakan klimaks dari konflik antara keluarga Pandawa yang dipimpin oleh Puntadeva (atau Yudistir) melawan Korawa yang dipimpin oleh sepupunya yaitu Duryodhana. Baik Pandawa maupun Korawa adalah keturunan Bharata, yang digambarkan dalam Mahabharata sebagai Kakravartin (raja kerajaan), penguasa tanah Asia Selatan (India dan sekitarnya). Namun versi pewayangan Jawa menunjukkan bahwa perang Indo-Yuddha merupakan peristiwa yang telah ditakdirkan oleh para dewa bahkan sebelum lahirnya Pandawa dan Korawa. Lebih lanjut menurut boneka tersebut, Padang Kurusetra sebagai medan pertempuran bukan berada di India bagian utara, melainkan di Pulau Jawa tepatnya di Dataran Tinggi Dieng. Dengan kata lain, menurut tradisi Jawa, kisah Mahabharata diyakini terjadi di Pulau Jawa. Benih-benih perselisihan antara Pandawa dan Korawa dimulai sejak kedua orang tua mereka masih kecil. Ayah para Pandawa, Pandu, pada suatu hari membawa pulang tiga orang putri bernama Kunti, Gandari dan Madri dari tiga negeri. Salah satunya diperkenalkan kepada saudara perempuannya yang buta, Dretastra. Dretastra menjemput ketiga putri itu satu per satu. Pada akhirnya Gandari terpilih sebagai yang memiliki bobot terberat karena Dretrastra yakin kelak Gandari juga akan memiliki banyak anak, seperti impian Dretrastra. Hal ini membuat putri kerajaan Plasagenar marah dan kesal. Gandari merasa itu tak lebih dari sebuah cangkir yang berputar. Ia pun bersumpah bahwa keturunannya akan menjadi musuh anak-anak Pandu. Gandari dan adiknya yang bernama Sangkuni membesarkan seratus anaknya (Korwa) untuk bersaing abadi dengan anak Pandu yang berjumlah lima (Pandawa). Ketika Pandu meninggal, anak-anaknya semakin menderita. Korawa selalu menuntut nyawanya. Kisah-kisah berikut ini tidak berbeda jauh dengan versi Mahabharata, mulai dari upaya membunuh Pandawa di istana yang terbakar, hingga pertarungan kerajaan Amarta melalui permainan dadu kenegaraan yang dilakukan oleh Yudhishthira. Pendiri Dinasti Pandawa Dan Kurawa Akibat kalah taruhan, para Pandawa harus menghabiskan 12 tahun di pengasingan, ditambah satu tahun di negara Virata dengan menyamar sebagai rakyat jelata. Namun setelah masa hukuman selesai, pihak Korawa menolak memberikan haknya kembali kepada pihak Pandawa. Faktanya, Yudhishthira (kakak Pandawa) hanya menginginkan lima desa kembali untuk Pandawa, bukan seluruh Amarta. Namun Korawa tidak mau memberikan sejengkal pun tanahnya kepada Pandawa. Akhirnya Perang India ditentukan oleh perang yang tidak dapat dihindari lagi. Sebuah cerita pewayangan Jawa menyebutkan bahwa ada kitab yang tidak ditemukan dalam cerita Mahabharata dari India. Kitab tersebut berjudul Jitbasara atau Jitapsara yang memuat skenario peperangan (Jw.: pakem) dalam peperangan India, termasuk urutan siapa yang menjadi korban. Buku ini ditulis oleh Batara Penyarikan yang mencatat perbincangan Batara Guru (Raja Langit) dengan Batara Narada mengenai skenario tersebut. Raja Kresna dari Deravati yang menjadi penasehat para Pandawa menjelma menjadi lebah putih dan berhasil membajak pembicaraan dan penulisan kitab (Jawaban: Klanseng Putih). Ketika sampai pada bagian dimana Prabu Baladeva (saudara laki-laki Krsna) melawan Antereja (putra Bima), Lonceng Putih membuang tinta bekasnya sehingga bagian atau bab tersebut tidak ditulis. Lonceng putih tersebut kemudian menjelma menjadi Sukma Vicara, wujud halus (sukma) Batara Krishna. Sukma Vicara menentang rencana pertandingan antara Prabu Baladev dan Antereja karena Baladev pasti akan kalah dari Antereja. Selain itu, Sukma meminta kepada pendeta untuk mengizinkannya menyimpan kitab Jitapsara. Batara Guru mengijinkan kitab Jitapsara menjadi milik Kresna asalkan ia selalu merahasiakan isinya dan bersedia menukarkannya dengan bunga Vijayakusuma, pusaka dari Kresna yang dapat digunakan untuk mendamaikan orang yang telah meninggal. Selain itu, Batara Guru juga meminta Krishna untuk mengatur solusi Baladev dan Antareja. Kresna setuju. Sejak saat itu Kresna kehilangan kemampuannya untuk membangkitkan orang mati, namun ia mengetahui dengan pasti siapa yang akan datang kepada Bharata Yudha sesuai dengan isi kitab Jitapsara yang diperintahkan oleh para dewa. Krishna juga akan meminta Baladewa untuk bermeditasi di Grojogan sevu selama perang India, dan berdoa untuk keinginan Antareja untuk kembali ke alam abadi agar tidak terjadi perang antara kedua pejuang tersebut. Drona Karno Sengkuni Jalannya peperangan Bharatiyadh versi pewayangan Jawa sedikit berbeda dengan peperangan Kurukshetra versi Mahabharata. Menurut versi Jawa, pertempuran diatur sedemikian rupa sehingga hanya individu-individu tertentu yang ditunjuk yang maju berperang, sementara yang lain menunggu giliran untuk maju. Misalnya saja dalam versi Mahabharata Duryodhana sering bertemu dan berperang dengan Bhimasena, dalam pementasan wayang mereka hanya bertemu satu kali saja, yaitu pada adegan terakhir dimana Duryodhana dibunuh oleh Bhima. Di pihak Pandawa, yang bertanggung jawab merencanakan perang adalah Kresna. Dia berhak memutuskan siapa yang akan maju dan siapa yang mundur. Sedangkan di pihak Korawa, segala sesuatunya diatur oleh para penasehat Duryodhana, yaitu Bisma, Durna (Drona) dan Salya. Karena kisah perang India yang menyebar ke india dipengaruhi oleh sisipan cerita yang tidak terdapat dalam kitab aslinya (Kitab India dalam bahasa Sansekerta), maka mungkin terdapat banyak perbedaan menurut daerah masing-masing. Namun inti ceritanya tetap sama. Sebagaimana dijelaskan, Perang India dimulai dengan penunjukan seorang jenderal besar atau pemimpin perang di kedua belah pihak. Pandawa menunjuk Resi Seta (Sweta) sebagai pemimpin perang bersama sekutu di sayap kanan Uttara Arya dan sayap kiri Arya Vratasanga. Ketiganya terkenal keras dan berasal dari kerajaan Virat yang mendukung Pandawa. Pandawa menggunakan strategi perang brajatikva yang berarti senjata tajam. Sedangkan di pihak Korawa, Bisma (Resi Bisma) diangkat menjadi pemimpin perang bersama pendeta Durna (Drona) dan Raja Salya dari Mandaraka yang mendukung Korawa. Bisma menggunakan kata Vukirjaladri yang berarti “gunung laut”. Modul Basa Jawa Kelas Ii Semester Genap Pasukan Korawa menyerang bagai gulungan ombak laut, sedangkan pasukan Pandawa yang dipimpin Resi Seta menyerang bagai senjata yang menusuk tepat ke pusat maut. Sementara itu, putra Prabhu Salya, Rukmarta, datang ke Kurukshetra untuk melihat pertempuran tersebut. Meski bukan anggota pasukan tempur dan berada di luar garis pertempuran, namun ia melanggar aturan perang dengan berniat membunuh Resi Seta. Rukmarata menembakkan anak panah ke arah Resi Seta, namun anak panahnya meleset dari sasaran. Setelah melihat siapa yang menembaknya, Resi Seta memanggil tim lawan ke Rukmarta. Setelah mobil Rukmarta memasuki tengah pertempuran, Resi Seta langsung menghajar Kyai Pekatnyawa dengan gada (pemukul) hingga hancur berkeping-keping. Rukmrata, pangeran Mandarka, meninggal tak lama kemudian. Dalam pertempuran tersebut, Arya Uttara jatuh ke tangan Prabu Salya, sedangkan Arya Vratsangka dibunuh oleh Pendeta Durna. Bisma menghadapi Resi Seta bersenjatakan Aaji Nagakruraya, Aaji Dahana, busur Narkabala, panah Kyai Kundarwa dan Kyai Salukat bersenjatakan gada Kai Lukitapati, pertanda kematian bagi orang yang mendekatinya. Pertarungan keduanya terbilang sangat seimbang dan seru hingga akhirnya Bisma berhasil mengalahkan Resi Seta. Bab pertama Bharatiyadh diakhiri dengan kegembiraan para Korawa atas kematian panglima perang Pandawa. Setelah Resi Seta tumbang, para Pandawa menunjuk Trustjumena (Drestadyumna) sebagai pemimpin perang mereka dalam Perang Bharata. Sedangkan Bisma tetap menjadi pemimpin perang Korawa. Pada episode kali ini kedua kubu bertarung dengan strategi yang sama yaitu garudangalayang (elang terbang). Dalam pertempuran ini, dua anggota si kembar Korawa, Vikataboma dan Bomavikata, dibunuh oleh Bima setelah kepala mereka saling disandarkan. Sementara itu, beberapa raja sekutu Korawa juga tewas di lokasi kejadian. Diantaranya Prabu Sumarama (Susarama) raja Trigartapura dibunuh oleh Bima, Prabu Dirgantara dibunuh oleh Arya Setyaki, Prabu Dirganda dibunuh oleh Arya Sangasanga (putra Setyaki), Prabu Dirgasara dan Sursudirga dibunuh oleh Gatotkaka dan Prabhu Malvapati. terbunuh. , terbunuh oleh panah jantung Raja Arjuna dari Malwa. Djaka Lodang No 07 2022 Kaca 2 51 Bisma setelah melihat komandan timnya terjatuh, melanjutkan perjalanan menuju medan pertempuran untuk menyerang musuh. Atas instruksi Kresna, para Pandawa kemudian mengutus dewi Vara Srikandi untuk maju melawan Bisma. Dengan munculnya seorang pendekar wanita menghadap Bisma di medan pertempuran. Bisma merasa bahwa sesuai kutukan Dewi Amba yang mati di tangan Bisma, waktu kematian telah tiba dan tiba saatnya menjemputnya. Bisma terbunuh oleh panah jantung Arjuna yang dilepaskan oleh istrinya Srikandi. Kutipan berikut menggambarkan suasana pertempuran di Kurukshetra, yaitu setelah Pandawa yang dipimpin oleh Raja Drupada mengorganisir barisan yang disebut “Garuda” yang terlalu kuat untuk menyerang Korawa. Ri huvusira pinuja mereka menyanyikan veera sira eheh, kamantyan drupadsuta dari Krishna rahina meninggal, tka marpatatingkah byuhanung bhaya bhisma, nagarani glirirveh kyati veera kagapati Setelah disembah oleh seluruh ksatria, putra Raja Drupada (Drestdyumna) berangkat pada siang hari. Nama garis berbahayanya adalah “Garud”, terkenal pemberani. Watake Prabu Duryudana Drupada pinak tendas tan len parth sira patuk, paratu sira pristha sri dharmatmaj pinuji, halari tengeniki the drshtadyumn sah bala, kiva pavansuta satayugyapcyat. Raja Drupada adalah kepalanya Prabu baladewa ratu ing, dasamuka ratu ing, putrane puntadewa yaiku, puntadewa satriya ing News