November 2, 2023 Cerita Asal Muasal Wamena Berasal Dari Cerita Asal Muasal Wamena Berasal Dari – Tari Tumbu Tanah atau Tari Tumbu Tanah merupakan tarian tradisional khas masyarakat Arfak yang tinggal di Manokwari. Tarian ini disebut juga tarian ular karena formasi tarian ini menciptakan seekor ular yang melilit tubuhnya di pohon. Tari Tumbu Tanah biasanya dipentaskan untuk menyambut peristiwa-peristiwa penting, seperti penyambutan pengunjung dari luar masyarakat Arfak, memenangkan perang, dan merayakan pernikahan. Tari Tumbu Tanah merupakan identitas masyarakat Arfak karena semua gerak, formasi, lagu pengiring, alat musik dan aksesoris dalam tari Tumbu Tanah merupakan ciri khas masyarakat Arfak yang membedakannya dengan tarian suku lain di wilayah Papua. . Keempat suku tersebut menyebut tarian ini sebagai tarian Tumbu Tanah karena mereka menyebutnya dengan bahasa yang berbeda. Orang Hattam menyebutnya Ibihim sedangkan orang Moile menyebutnya Isim. Suku Meyakh menyebut tarian Tumbu Tanah dengan nama Mugka dan suku Sough menyebutnya Manyohora. Cerita Asal Muasal Wamena Berasal Dari Pembicaraan tari Tumbu Tanah bermula ketika agama Kristen dibawa dari Jerman oleh dua misionaris, yaitu Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler, Jurnal Ulasan 17082021 886543300 Mereka tidak hanya menjalankan misi penginjilan, tetapi juga membangun berbagai sarana sosial dan infrastruktur yang mengubah peradaban masyarakat Papua, khususnya Manokwari. Agar tarian ini lebih mudah diingat, mereka menggunakan bahasa Indonesia untuk menyebut tarian suku Arfak ini sebagai tarian Tumbu Tanah agar orang lain di luar keempat sub suku tersebut dapat mengenalinya. Yang dimulai di Kampung Ndui. Legenda Jambu Mandatjan merupakan cerita tentang perjuangan untuk memiliki salah satu pohon jambu yang dimiliki bersama oleh suatu marga (marga). Di Manokwari oleh anak-anak dari salah satu kereta api. Seorang anak menembakkan anak panah dalam perkelahian, tetapi meleset dari burung itu. Tindakan ini kemudian dikritik oleh anak-anak lain yang menjadi penentang, bahkan lebih meluas hingga melibatkan orang tua dari setiap kereta di dalamnya. Setiap keret mengakui kebenaran tentang apa yang dilakukan anaknya. Hal ini merusak hubungan harmonis yang telah dibangun antar kereta api. Jurnal Humaniora Vol Ii No. 1 Maret 2014 Konflik menyebabkan masing-masing pihak bersumpah untuk tidak pernah hidup bersama lagi. Sejak saat itu, setiap kereta meninggalkan tempat tinggal mereka dan membangun rumah baru di lingkungan yang berbeda. Kemudian kelompok yang bergerak ke daerah Anggi membebaskan masyarakat Arfak berbahasa Kasar, sedangkan kelompok yang bergerak ke timur laut menuju daerah Minyambow meninggalkan masyarakat Arfak berbahasa Hattam. Kelompok masyarakat Sough kemudian menyebar ke arah selatan, yakni ke dataran Isim, Beimes, Chatubouw, Sururey, sebagian kota Ransiki, hingga wilayah Kabupaten Teluk Bintuni. Adapun orang Hatta menyebar ke pegunungan Arfak terutama di Hingk, Awibehel, Beganpei dan Pinibut. Setelah sekian lama terpisah, suku-suku tersebut ingin berkumpul kembali. Hal inilah yang mendorong mereka untuk menggelar cintakuek (pesta makan malam) dengan mengundang berbagai suku yang tersebar di wilayah Arfak. Selain mempersatukan kembali suku-suku lain, tujuan diselenggarakannya pesta ini juga untuk memamerkan kekayaan yang dimiliki masing-masing suku, terutama yang berkecimpung dalam kekayaan pertanian. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, saat makanan disajikan, sejumlah orang berdiri mengucapkan terima kasih kepada tuan rumah (suku Hattam) yang telah menyiapkan segalanya untuk para tamu. Tanpa sadar, beberapa dari mereka melompat di tempat. Ini diikuti oleh semua undangan, hingga terbentuk gerakan menghentak di tanah. Selain meloncat-loncat, mereka juga berteriak sebagai ungkapan kebahagiaan bahwa mereka dipertemukan kembali. Pada akhirnya disepakati untuk menari dengan gerakan melompat seperti itu sambil bergandengan tangan dengan penari lain dalam acara yang berbeda, guna semakin mempererat tali silaturahmi keempat subgrup tersebut. Sk 162 Xx Tari Tumbu Tanah dibawakan oleh masyarakat Arfak di Rumah Kaki Seribu untuk menyambut pengunjung luar (Assa & Hapsari 2015, hlm. 31). Tari Tumbu Tanah merupakan tarian yang dilakukan secara massal dan tidak dibatasi jumlah peserta tariannya. Tarian ini bisa diikuti oleh warga satu desa atau gabungan warga dari beberapa desa. Artinya, kelompok dari semua lapisan masyarakat, tua dan muda, dapat mengikuti tarian Tumbu Tanah, bergabung bersama dalam tarian tersebut. Tari Tumbu Tanah dipertunjukkan untuk menyambut berbagai peristiwa penting, antara lain perayaan ulang tahun orang-orang berpengaruh di masyarakat Arfak, penyambutan tamu non-Arfak atau kunjungan pejabat setempat, peresmian gedung, perayaan pernikahan, dan perayaan kemenangan militer. Secara umum tidak ada perbedaan gerak dasar tari Tumbu Tanah di kalangan masyarakat Arfak. Perbedaan utama adalah pasangan penari, lagu yang dinyanyikan, dan tujuan dari tarian tersebut. Heboh Lobster, Ada Udang Selingkuh Berharga Mahal Di Papua Selain itu, tarian ini tidak memiliki banyak jenis gerakan. Tari Tumbu Tanah hanya mengenal dua gerak dasar, yaitu bihim ifiri kai cut (melompat sambil menghentakkan kaki ke tanah) dan yam (berpegangan tangan). Lagu-lagu yang dinyanyikan dalam tari Tumbu Tanah pasti berbau nyanyian pujian kepada arwah nenek moyang masyarakat Arfak. Tebasan ifiri kai Bihim adalah gerakan melompat sambil menghentakkan kaki ke tanah. Selain meninggalkan usaha pesta untuk berkumpul kembali, gerakan tersebut juga diadopsi oleh masyarakat Arfak berupa kaukus (di Hattam disebut mieya) yang melompat dan membungkuk atau burung pintar. (dalam bahasa Hatta ini disebut bricew, urinyai atau undebaicing), yaitu. membangun sarang. Penduduk Arfak meniru gerakan kedua hewan tersebut, karena mudah bagi mereka untuk menari. Gerakan melompat sambil menghentakkan kaki ke tanah terjadi di pertengahan lagu. Dalam gerakan ini, kaki penari menjadi kekuatan untuk melompat. Dengan menekuk lutut sedikit ke depan dan mendorong badan ke atas dengan tumpuan, penari harus mendarat dengan kaki sejajar. Tujuan dari gerakan ini yang selalu dimulai di tengah-tengah adalah agar penari tidak terlalu lelah. Satu lagu dalam tarian Tumbu Tanah biasanya berdurasi 3-5 menit sedangkan dalam satu tarian Tumbu Tanah biasanya menyanyikan 7-10 lagu. Masyarakat Arfak percaya jika gerakan melompat pada tari Tumbu Tanah dimulai dari awal lagu maka penari akan cepat lelah dan hanya mampu membawakan 3-5 lagu. Kematian Orang Papua Dalam Peristiwa Wamena Yam adalah gerakan yang melibatkan berpegangan tangan sambil terus menerus memantul ke atas dan ke bawah. Gerakan ini tidak sekedar bergandengan tangan, melainkan melompat-lompat dengan meletakkan tangan di atas bahu atau siku penari lain. Inti dari gerakan ini adalah ketika Anda melompat, Anda tidak memukul wajah dan dada penari lain. Biasanya 10 orang menampilkan tarian Tumbu Tanah. Sebelum mementaskan tari Tumbu Tanah, masyarakat Arfak akan menggelar acara makan bersama yang disebut cintakuek. Secara umum masyarakat Arfak mengenal tiga jenis formasi dalam tari Tumbu Tanah. Ketiga formasi tersebut adalah jey/srem (diperpanjang), iKrop (setengah lingkaran) dan nimot (lingkaran penuh). Menurut Kondologit dan Sawaki, ketiga formasi ini terinspirasi dari banyaknya ular yang ditemukan di Pegunungan Arfak. Di luar kasuari, ular merupakan hewan suci dalam sistem religi masyarakat Arfak. Hanya Di Wamena, Ada Pasir Putih Di Atas Bukit Jey/srem adalah pola yang diperpanjang. Formasi ini dibawakan dari lagu pertama hingga lagu ketiga. Dalam formasi panjang ini, sang dop (penari utama) duduk di depan penari lainnya, menyanyikan gundukan yang telah disiapkan (lagu yang hanya bisa dinyanyikan oleh orang tua). Penari lainnya kemudian berbaris mendatar di sebelah kanan pemimpin lagu hingga semua penari selesai mengikuti lagu kedua yang dinyanyikan oleh pemimpin tarian. Lagu kedua yang dinyanyikan dalam tari Tumbu Tanah adalah nihet duwei, yaitu jenis lagu situasional (lagu untuk penyambutan tamu, perayaan perang atau upacara pernikahan). Saat lagu kedua memasuki adegan terakhir, semua penari mulai melompat dan menghentakkan kaki sambil bergandengan tangan. Tari Tumbu Tanah disebut juga tari ular karena bentuk akhir dalam tarian ini adalah ular yang melilitkan tubuhnya pada pohon (Kondologit dan Sawaki 2016, hlm. 104–107). Ikro adalah formasi setengah lingkaran. Dalam formasi ini, para penari tidak merusak formasi yang diperpanjang. Mereka pergi berpegangan tangan untuk berhenti sekitar +1-3 menit. Menurut Kondologit dan Sawaki, setelah setiap lagu dinyanyikan, para penari beristirahat sejenak untuk bernapas dan menyesuaikan kekuatan. Para penari kembali bergandengan tangan dan melompat sementara penari di kanan dan kiri menggiring penari lainnya membentuk formasi setengah lingkaran. Setelah setengah lingkaran terbentuk, lagu selanjutnya akan dinyanyikan kembali. Nimot adalah pola lingkaran penuh. Proses formasi terakhir pada Tumbu Tanah hampir sama dengan formasi kedua yaitu penari di akhir memberi aba-aba terlebih dahulu, menginstruksikan penari lainnya untuk membentuk formasi lingkaran. Menyanyi, melompat dan bergandengan tangan, para penari menyesuaikan posisinya membentuk lingkaran utuh. Kedua penari yang berada di ujung terhubung dengan berpegangan tangan. Salah satu keunikan dari formasi terakhir ini adalah jika penarinya lebih dari 10 orang, maka formasi lingkaran akan terbagi menjadi dua atau tiga. Semakin banyak penari, semakin banyak pula lingkaran yang membentuk ular yang melingkari tubuh. Dalam formasi ini, pemimpin tari tetap pada tempatnya dan dikelilingi oleh penari lainnya. Media Indonesia 5 Desember 2018 By Mediaindonesia Dalam sistem religi, masyarakat Arfak memegang kepercayaan yang berpusat pada roh-roh kuno dan Sema (pengantara roh kuno). Sema diyakini telah meninggalkan mereka dan tinggal di Pulau Roswar karena tidak menginginkan kehidupan yang kotor. Oleh karena itu, dalam tari Tumbu Tanah harus ada nyanyian pujian kepada arwah leluhur dan Sema. Lagu pengiring yang dibawakan dalam tari Tumbu Tanah adalah twyni, nihet duwei dan isap. Tiga lagu dinyanyikan sambil melompat, menghentakkan kaki ke tanah, dan berpegangan tangan. Menurut Assa dan Hapsari, syair lagu kedua dan ketiga umumnya dikarang sendiri sebagai ungkapan tujuan tari Tumbu Tanah. Bowerbird biasa yang sering disebut dalam puisi Dune ini kini dapat ditemui langsung di habitat aslinya, salah satunya di Cagar Alam Pegunungan Arfak, Manokwari, Provinsi Papua Barat (Kondologit dan Asal muasal berlian, asal muasal internet, asal muasal bulu perindu, asal muasal batu ruby, asal muasal baju koko, asal muasal hari valentine, asal muasal plastik, asal muasal kopi, asal muasal emas, asal muasal kutu rambut, asal muasal keris, asal muasal hiv News